Penggunaan water bombing untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan di lereng gunung Slamet belum diperlukan. Oleh karena itu, penanganan kebakaran hutan di lereng gunung Slamet akan tetap menggunakan cara manual. Yaitu mengerahkan tenaga relawan di tiap tiap daerah.
“Alasannya karena biaya mahal, ketersediaan air, faktor angin dan banyaknya menara sutet,” tutur Kepala Pelaksana Harian BPBD Jateng, Sudaryanto ditemui usai rapat koordinasi di Hotel Grand Dian Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (23 september 2019).
Dijelaskan, menggunakan water bombing perlu dipertimbangkan soal ketersediaan sumber air. Mengingat di sekitar lokasi tidak tersedia air yang mencukupi.
” Water bombing memiliki kapasitas 500 liter untuk sekali jalan. Menggunakan heli untuk water bombing merupakan alternatif terakhir. Itu pun harus mempertimbangkan beberapa hal,” ujar Sudaryanto.
Pengoperasian water bombing juga dipengaruhi faktor angin. Dimana kecepatan angin dilokasi gunung Slamet bertiup cukup kencang. Sehingga pesawat water bombing akan berisiko jika dipaksakan terbang.
Disamping itu, ada banyak menara tinggi di sekitar lokasi kebakaran. Baik itu menara BTS maupun Sutet. Keberadaan menara ini juga bisa membahayakan penerbangan.
“Lagipula biaya yang dikeluarkan sangat besar. Biaya operasionalnya Rp 200 juta tiap jam,” terang Sudaryanto.
Ia sudah meminta pihak Perhutani untuk berkoordinasi dalam penanganan karhutla ini termasuk mengerahkan lebih banyak relawan di daerah-daerah yang mengalami kebakaran