Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita menyatakan keberatan dengan kenaikan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Bekasi yang disepakati sebesar 8,51%. Mereka justru mendukung wacana penghapusan UMK yang digulirkan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah beberapa waktu lalu.
“Sesungguhnya bagi pengusaha (kenaikan UMK) berat sekali karena bisnis sepi ditambah kondisi ekonomi yang belum stabil. Kenaikan 8,51% itu tidak bisa dibarengi dengan peningkatan produktivitas,” kata Suryadi saat dihubungi Ayobekasi.net, Jumat (15/11/2019).
Dia khawatir jika kondisi ini terus berlangsung, maka akan memukul industri manufaktur. Bisa jadi, perusahaan juga akan mengubah pola bisnisnya menjadi perusahaan dagang atau trading company.
Meski demikian, Apindo juga tidak bisa melanggar peraturan yang ditetapkan pemerintah. Mereka tetap akan patuh dan berharap pemerintah bisa menerapkan kebijakan pengupahan dengan lebih adil serta proporsional. Misalnya, melalui skema Upah Minimum Nasional (UMN).
“Kami bisa terima (peraturan soal kenaikan UMK) dengan sedih. Walaupun ujungnya jadi tidak bisa ekspansi dan banyak yang memutuskan hengkang dari Indonesia,” ujar Suryadi.
“Kami inginnya pemerintah menggunakan skema UMN. Memang besarannya kecil, tapi itu nanti disesuaikan oleh perusahaan. Misal, perusahaan yang untungnya gede, maka yang diberikan ke pekerjanya juga gede. Perusahaan yang untungnya kecil, ya disesuaikan juga, tapi UMN ini jadi semacam standar,” lanjutnya.
Jika menggunakan skema UMN, buruh tak perlu merasa khawatir karena perusahaan tidak bisa seenaknya menggaji tanpa melihat kompetensi dan produktivitas kerja. Semua sudah ada aturan baku yang wajib diikuti.
“Walau besaran UMN lebih kecil, tapi perusahaan besar yang bisnisnya maju enggak bisa seenaknya gaji senilai UMN itu dong. Ada PKB (Perjanjian Kerja Bersama)-nya dan dihitung aspek lain seperti kompetensi dan lain-lain,” kata Suryadi.
Sebelumnya, buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak wacana penghapusan UMK karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan secara sistematis akan memiskinkan kaum buruh.
“Wacana ngawur. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan diatur bahwa upah minimum terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota,” kata Presiden KSPI Said Iqbal.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa upah minimum berdasarkan wilayah kabupaten/kota sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun yang lalu, sehigga dinilai tidak masuk akal apabila UMK hendak dihapuskan karena akan memicu perusahaan berlomba-lomba membayar upah buruh hanya sesuai UMP (Upah Minimum Provinsi) atau Upah Minimum Nasional (UMN).