Industri tembakau pernah berjaya dan menjadi sandaran hidup warga masyarakat Kabupaten Purbalingga. Dulu, pernah ada Tobbaco Indonesia Coorporation (TIC) yang mengekspor tembakau berkualitas untuk bungkus cerutu ke Bremen, Jerman. TIC itulah yang kemudian setelah era kemerdekaan dinasionalisasi menjadi perusahaan bernama Gading Mas Indonesia Tobbaco (GMIT) yang berjaya sampai era tahun 1980-an.
“GMIT ini perusahaan yang terkemuka waktu itu, gudangnya saja besar-besar, berjumlah puluhan dan tersebar di berbagai wilayah Purbalingga,” tutur Tri Daya Kartika, Tokoh Masyarakat Purbalingga dalam Focus Group Discussion (FGD) ‘Sejarah Tembakau di Purbalingga dan Perkembanganya’ yang diselenggarakan oleh Bagian Perekonomian, Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga di Warung Djoglo, Selasa, (09 Juli 2019).
Menurut Tri Daya Kartika, di Padamara dan Kutasari saja ada setidaknya empat gudang tembakau, yaitu di Padamara, Kalitinggar, Karangaren dan Karanggambas. Gudang tembakau GMIT juga ada di Desa Beji dan Pagutan di Kecamatan Bojongsari lalu Desa Kalapacung, Gunung Karang dan Karang Duren yang ada di Kecamatan Bobotsari.
“Gudang tembakau itu berfungsi untuk penyimpanan dan ngomprong daun tembakau, daunnya lebar-lebar karena untuk bungkus cerutu,” ujarnya.
Tri Daya Kartika yang juga ketua Forum for Economic Development and Employment Promotion (FEDEP) meyakini jika lahan tembakau di Purbalingga saat itu sangat luas.
“Mungkin bisa sampai ribuan hektar karena gudangnya besar-besar dan ada dimana-mana,” katanya.
Jejak kejayaan tembakau di Kabupaten Purbalingga juga disampaikan oleh Ganda Kurniawan, sejarawan dan anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Purbalingga. Menurutnya, cacatan pemerintah Hindia Belanda sudah menyebutkan bahwa sejak 1906 sudah ada perkebunan tembakau yang beroperasi di wilayah Purbalingga.
Dalam buku De Tabaksplantages Op Sumatra, Java en Borneo yang ditulis oleh J.H. Lieftinck & Zoon (Amsterdam, 1906) di wilayah Karesidean Banyumas ada 4 perusahaan tembakau dan dua diantaranya ada di wilayah Purbalingga. Pertama ada perusahaan De Erven de wed. J. Van Nelle yang dimiliki oleh H. Burgmans. Perusahan itu memproduksi tembakau dengan merk Van Nelle dikenal tidak hanya di Indonesia namun dipasarkan hingga ke eropa oleh perusahaan yang berbasis di Rotterdam itu. Kedua, perusahaan bernama Kandanggampang Mulder Redeker & Co yang dimiliki oleh Cornelis Johannes.
Kemudian, pada peta terbitan Pemerintah Belanda pada 1917 juga tercatat beberapa gudang tembakau yang disebut dengan Tabakloodsen, diantaranya ada di Kandanggampang, Penaruban di dekat jembatan lama Sungai Klawing, Karanglewas dan Walik di Kecamatan Kutasari serta Pagutan, Kecamatan Bojongsari. Lalu, pada peta Belanda terbitan 1944 juga tercatat ada gudang tembakau di Kelurahan Karangsentul yang sekarang menjadi Gudang Bulog, satu gudang di Planjan, Kecamatan Kalimanah dan tiga gudang di Desa Patemon, Kecamatan Bojongsari.
Ganda meyakini dengan fakta-fakta itu bahwa Purbalingga pernah menjadi sentra industri tembakau.
“Bahkan salah satu petinggi perusahaan van Nelle bernama H. Brugmans dimakamkan di Kerkhof Purbalingga,” katanya.
Dengan fakta-fakta tersebut, Budayawan Purbalingga Agus Sukoco menilai bahwa sudah seharusnya Purbalingga belajar pada sejarah.
“Saya yakin Belanda memutuskan untuk menanam tembakau dan komoditas perkebunan lainnya di Purbalingga dengan pertimbangan dan penelitian mendalam sehingga bisa berhasil dengan baik, kita tinggal merawat dan menduplikasinya,” katanya.
Purbalingga, kata Agus, dikaruniai Tuhan lahan yang subur dan cocok untuk berbagai komoditas perkebunan, termasuk tembakau.
“Kita harus memanfaatkan anugerah itu untuk kesejahteraan masyarakat Purbalingga,” katanya.
Agus menilai Pemerintah Kabupaten Purbalingga perlu mempelajari sejarah untuk membuat berbagai kebijakan yang tepat sasaran.
Data Dinas Pertanian Kabupaten Purbalingga, tanaman tembakau di Purbalingga hanya tersisa sekitar 12 hektar. Itupun bukan tanaman utama dan lebih banyak digunakan untuk keperluan sendiri.
“Kami menanam dengan sistem tumpang sari dan hanya setahun sekali di sekitar tanggul tanaman sayuran,” ujar Ratno, petani yang masih melestarikan tanaman tembakau dari Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja.
Tembakau yang ditanam merupakan tembakau lokal yang benihnya turun-temurun. Menurut Ratno, tanaman tembakau masih banyak dibudidayakan sampai era tahun 1990-an. Namun, perlahan terdesak tanaman sayuran seperti kentang dan cabe yang dinilai lebih menjanjikan dari sisi ekonomi.
Sementara itu, Kepala Bagian Perekonomian Sekretarat Daerah Kabupaten Purbalingga Edhy Suryono menyebutkan Purbalingga sampai saat ini memang tak tercatat sebagai daerah penghasil tembakau.
“Kita mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) karena ada setoran cukai dari pabrik rokok yang beroperasi di wilayah kita, bukan karena penghasil tembakau,” katanya.
Menurutnya ada 2 perusahaan penyetor cukai hasil tembakau di Kabupaten Purbalingga, yaitu, PT Mitra Karya Tri Utama (MKTU) yang merupakan rekanan PT HM. Sampoerna dan CV King Brewery, produsen liquid vape.
“Setoran cukai kita pada tahun 2019 cukup besar, sekitar Rp 145 milyar dan yang dialokasikan kembali dalam bentuk DBHCHT sekitar Rp. 6,8 milyar,” ujarnya.
Sebagai Informasi, dasar pembagian DBHCHT adalah setoran cukai hasi tembakau dan produksi tembakau. Oleh karena itu, Bagian Perekonomian selaku Sekretariat DBHCHT ingin mendorong agar purbalingga bisa kembali diakui sebagai daerah penghasil tembakau sehingga alokasi DBHCHT pun bisa naik.
“Kita memiliki sejarah manis kejayaan industri tembakau, dengan kerjasama berbagai stakeholder kejayaan itu bukan tidak mungkin akan kita raih kembali,” katanya.
Gayung pun bersambut, Bappelitbangda menyatakan siap untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan pengembangan tembakau di Purbalingga.
“Tahun 2020 bisa kita anggarkan demplot-demplot dan pendampingan petani tembakau,” ujar Sukram, Kepala Bidang Ekonomi Bappelitbangda Kabupaten Purbalingga. Sukram juga menyambut baik usulan TACB Kabupaten Purbalingga agar dibangun museum mini yang menceritakan kejayaan tembakau.
Sebelumnya, dalam forum diskusi tersebut, TACB mengusulkan agar dibangun Museum Mini Tembakau Purbalingga.
“Museum itu bisa dibangun di situs tempat GMIT dulu beroperasi, yaitu di wilayah Kelurahan Kandang Gampang yang saat ini sudah menjadi PT Indekores Sahabat,” kata Adi Purwanto, anggota TACB.
Selain itu, pengembangan industri tembakau bisa disinkronisasikan dengan pengembangan pariwisata.
“Selama ini kalau ingin karya wisata industri biasanya hanya ke pabrik permen davos atau ke pabrik rambut, kenapa tidak kita karyawisata ke kebun tembakau dan pabrik rokok,” ujar Kepala Bidang Pariwisata Prayitno.