Dalam perang Mangkubumen di Jenar tahun 1749 – 1755, Pasukan Pkubuwono yang dibantu kompeni berhasil diporak porandakan oleh pasukan Pangeran Mangkubumi. Banyak kompeni bersama pasukan Pakubuwono yang di tahan dan dibunuh.
Melihat dahsyatnya perang ini, para pembesar VOC ( Vereenigde Ooost Indische Compagnie) merasa cemas. Pimpinan VOC Hartingh, lalu mengadakan diplomasi untuk membujuk Pangeran Mangkubumi agar mau diajak berunding dan berdamai.
Berkat bujukan Hartingh pada tanggal 13 Pebruari 1755, diselenggarakan perjanjian Gianti antara Pangeran Mangkubumi, dengan Sunan Pakubuwono dan Haringh. Dalam perjanjian segi tiga itu Hartingh seakan bertindak sebagai penengah yang netral. Maka ketiga belah pihak setuju, Mataram yang dikuasai Sunan Pakubuwono dibagi dua yaitu Mataram Timur dan Mataram Barat. Atau lazim disebut Palihan Nagri.Pangeran Mangkubumi mendapat bagian di sebelah barat, dengan ibu kota Ngayogyakarta Hadiningrat, sedangkan Sunan Pakubuwono di sebelah timur.Dengan ibu kotanya Surakarta.
Keputusan inilah yang merupakan awal licik Belanda untuk mengembaangkan jajahannya di wilayah yang masih dikuasai raja. Terbukti dalam Palihan Nagri ini, Pangeran Mangkubumi tidak menerima secara gratis. Sebab Hartingh juga menyodorkan kontrak politik. Yaitu pemberhentian dan pengangkatan patih dalem serta bupati, harus seizing dan sumpah setia kepada Belanda (VOC). Juga Pangeran Mangkubumi harus menyerahkan daerah pesisir utara Jawa dan Madura kepada VOC. Pesisir utara Jawa semula diserahkan (dijual ?) oleh Sunan Pakubuwono III kepada VOC, tetapi direbut kembali oleh Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mankubumi kemudian diangkat menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I, berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebagai patihnya, diangkat Raden Adipati Yudonegoro III, Bupati Banyumas, dengan gelar Raden Tumenggung Dnureja I (Satu).
Sementara setelah adanya Palihan Nagri, Banyumas (termasuk Purbalingga) tetap menjadi daerah mancanegara di bawah keraton Surakarta (Wilayah mancanegara dikepalai oleh wedono bupati yang membawahi beberapa bupati di daerahnya). Dari perjanjian Gianti inilah terjadi adanya daerah Vorstenlanden (tanah- tanah kerajaan).
Tahun 1825 – 1830 pecah perang Diponegoro. Sementara itu keadaan di Yogyakarta menjadi kacau balau karena dikepung oleh pasukan Diponegoro dari segenap penjuru. Perang ini juga merembes ke barat, yaitu ke karesidenan Kedu dan Banyumas sampai Purbalingga.
Di Purbalingga perang Diponegoro dikenal dengan nama perang Biting. Ajangnya di daerah Kaligondang Cilapar, Selakambang dan Penolih. Usai perang Diponegoro , terjadi lagi penataan wilayah Vorstenlanden yang dikenal dengan Vorstenlanden kedua (twede Vorstenlanden).
Setelah mengadakan penataan kembali daerah Vorstenlanden, Belanda mulai menunjukan kelicikannya. Pada tanggal 17 April 1830, Belanda mengadakan perjanjian dengan raja – raja Surakarta dan Yogyakarta.
Perjanjian itu menghasilkan resolusiI, bahwa perang Diponegoro dinyatakan berakhir. Maksudnya, andaikata sewaktu – waktu masih terdapat sisa pasukan Diponegoro memberontak, yang menghadapi bukannya Belanda, melainkan raja Surakarta dan Raja Yogyakarta, sedangkan Belanda hanya bersifat membantu.
Berakhirnya perang Diponegoro ini, menimbulkan dampak luas. Perubahan di segala kehidupan dan tatanan dunia baru di Jawa terjadi, karena perubahan sistim politik dan tatanan ekonomi. Sehingga seluruh sendi social dan budaya mengalami penyesuaian.
Dampak lain adalah Sunan Pkubuwono VI oleh Belanda dibuang ke Ambon dan diganti Pakubuwono VII (1830 – 1858) Ia adalah ebagai raja Surakarta pertama yang diangkat dengan besluit (Surat Keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dengan demikian maka seluruh wilayah mancanegara keraton Surakarta maupun Yogyakarta, sudah menjadi kekuasaan Hindia Belanda.
Pada ranggal 22 Juni 1830 secara konkrit terjadi aneksasi dan pengambil alihan wilayah mancanegara keraon Surakarta dan Yogyakarta. Kemudian disusul instruksi penarikan pajak untuk komisaris pengambil alihan tanah – tanah kerajaan sebagai bagian dari resolusi tanggal 18 Desember 1830 no.1, maka komisi penaaan wilayah Madiun, Kediri, Bagelen dan Banyumas harus dilaksanakan. Instruksi tersebut berbunyi : De commissaris voor de overgenomen Vorstenlanden zal belas zijn met de executie van he besluit van den 31 Augusus 1830 La.A. no.1 voor zoo verre de zelve noh geen plaats heeft gehad als mede met die van het besluit no. 1 houdende bepalingen, het eerste over het in te voeren bestuur der Residentien Madion, Kediri en het laatste de Residentien Bgelen en Banjoemas. Artinya : Sejak ditentukannya surat keputusan (besluit) tanggal 31 Agustus 1830 La.A. no.1 komisaris pengambil alihan Vorstenlanden (tanah – tanah) kerajaan , harus segera menarik pajak daerah. Demikian pula halnya dengan tempat – tempat yang terkena besluit no.1 sejak saat ini mengikuti , terutama dalam hal pemerintahan dalam negri di wilayah karesidenan Madiun dan Kediri serta selanjutnya terakhir di karesidenan Bgelen dan Banyumas.
Kalau kita menyimak surat keputusan itu, serta satu besluit tertanggal 18 Desember 1830 yang dijadikan titik tolak Hari Jadi Kabupaten Purbalingga, ternyata berlaku juga untuk empat karesidenan ( Madiun, Kediri, Bgelen dan Banyumas).
Khusus tentang pembentukan Karesidenan Kedu dan Banyumas, tercantum dalam beslut tanggal 18 Desember 1830 tersebut artikel 1 e, yang berbunyi : Te bepalen dat de door de Hoven van Surakarta en Djokjakarta afgestane landen, gelegen ten westen van die Rijken , zullen uitmaken twee Residentien , namelijk van Bagelen en Banjoemas. Artinya : Hoven telah menentukan wilayah bagian barat dari Negara Surakarta dan Yogyakarta akan segera dijadikan dua karesidenan , yaitu Bagelen dan Banyumas.
Maka jelaslah bahwa besluit tanggal 18 Desember 1830 itu, adalah tentang pengambil alihan kekuasaan daerah mancanegara Surakarta dan Yogyakarta (di dalamnya ada Purbalingga) oleh Belanda.
Tanggal pengalihan kekuasaan inilah yang kemudian dijadikan hari jadi kabupaten Purbalingga, dengan menggunakan Peraturan Daerah dan sudah disahkan oleh Gubernur Kepala Daerah Jawa Tengah tanggal 6 Desember 1996, nomor 188.3/387/1996. Diundangkan dalam Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 7 tanggal 11 Desember 1996, seri D nomor 6. (Dipersembahkan oleh Tri Atmo untuk memperingati Hari Jadi ke 185 Kabupaten Purbalingga)