Mayor Jenderal Sungkono Sang Ahli Pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945

Uncategorized132 views

Baca Juga: Mengenal Mayjend Sungkono Putra Asli Purbalingga, Pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November  1945

Baca Juga: Jenderal TNI Soedirman Panglima Besar Pertama di Indonesia

Nama Sungkono sebenarnya tak bisa dipisahkan dengan pertempuran di Surabaya 10 Nopember 1945. Namun, dari 173 pahlawan nasional, ditambah 6 pahlawan nasional yang baru ditetapkan Presiden Joko Widodo  pada Kamis (8 Nopember 2019), tak ada nama Sungkono.

Kolonel Sungkono. (Foto Dok. gahetna.nl)

Padahal menurut  Frank Palmos sejarawan Australia, Sungkono memiliki porsi yang besar karena keahlian strateginya mengorganisir tentara dalam pertempuran tersebut. Persediaan senjata yang dimiliki Arek Suroboyo dalam menghadapi Inggris pun tak lepas dari campur tangan Sungkono. Sejak September 1945, ia memimpin perjuangan rakyat Surabaya untuk melucuti senjata milik Jepang di Gubeng.

Palmos dalam komentarnya di Surabaya 1945: Sakral Tanahku menuturkan,  bila dibandingkan dengan nama Bung Tomo dengan  Sungkono. “Bung Tomo menggugah semangat para pejuang, sekaligus menjengkelkan bagi Inggris, Benar adanya bahwa pidato-pidato malam berapi-api yang dibawakan, tapi beliau hanya berpidato bukan mengatur tentara di medan laga seperti yang dilakukan Sungkono,” tulisnya.

Baca Juga: Patung Soedirman Seharusnya di Depan Makodim Purbalingga

Baca Juga: Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi: Jadilah Pahlawan Masa Kini

Saat perjuangan dulu, Sungkono berusia 31 tahun baru saja diangkat sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dengan pangkat Kolonel. Jabatan barunya itu sekaligus menjadi jawaban, bahwa warga Surabaya tak akan menyerahkan senjata kepada pasukan Inggris. Dengan kata lain, akan ada pertempuran besar pada 10 November 1945.

Dalam pidato singkatnya, seperti dikutip dari Surabaya 1945: Sakral Tanahku. Kolonel Sungkono membakar semangat para pejuang negeri ini, “Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya…Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan; tapi saya akan mempertahankan kota sendiri,” ungkapnya.

Para pejuang yang hadir yang rata-rata masih berusia sekitar 15-22 tahun memasang wajah penuh tekad.  Semua siap mempertahankan Surabaya di bawah komando Kolonel Sungkono. Pidato singkat Kolonel Sungkono itu kemudian disambut dengan deklarasi kebulatan tekad. Deklarasi itu berupa sumpah pejuang Surabaya yang menggunakan semboyan ‘Merdeka atau Mati’. Sumpah tersebut kemudian ditandatangani para komandan, termasuk Kolonel Sungkono.

Dalam Jurnal Unesa: Peran Mayjen Sungkono Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Di Jawa Timur Tahun 1945 – 1950. Putri pertama Kolonel Sungkono, Andijani Sungkono menuturkan, selama bertempur pria tangguh dari pasangan seorang tukang jahit Tawireja dan Rinten serta lahir di Purbalingga Kidul Kabupaten Purbalingga,  Akhad Wage 1 Januari 1911 memiliki kebiasaan unik. Sungkono kerap menggunakan baju hasil jahitan sendiri.

Putri pertama Mayjen Sungkono Sungkono, Andijani Sungkono sebagai perwakilan keluarga Menyerahkan dokumen dan benda-benda milik Komandan badan Keamanan Rakyat (BKR) Kota Surabaya, (Alm) Mayor Jenderal Soengkono kepada Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini untuk menjadi koleksi museum 10 November Surabaya

 

Tugas Sungkono terbilang berat. Ia harus memastikan keamanan seisi kota. Terlebih ia tahu, ultimatum yang disampaikan Mayor Jenderal Mansergh tidaklah main-main. Akan ada puluhan ribu bala tentara Inggris yang siap menggempur kotanya.

Dalam Memoar Hario Kecik ditulis, Kolonel Sungkono jelas tak memiliki apa-apa bila dibandingkan dengan pasukan Inggris. Ia tak memiliki kapal perang, tank sherman, pesawat thunderbolt dan mosquito, bahkan tak memiliki amunisi yang mumpuni. Kolonel Sungkono dan anak buahnya hanya punya senapan mesin ringan, granat, bambu runcing, dan beberapa tank yang sudah tua.

Maka, sehabis pertemuan di Jalan Pregolan 4 itu ia benar-benar tak bisa tidur. Semalaman ia  menyusun siasat menunggu pukul 06.00 pagi. Meski tidak tidur, Sungkono tampak tetap terlihat tenang. Sikap itu disaksikan oleh Wakil Komandan TPKR Suhario.

“Seperti biasanya malam itu Kolonel Sungkono tetap bersikap tenang selama melakukan inspeksi persiapan pertahanan. Dia datang ke markas saya di tengah malam, bersama dengan Kretarto dan tiga perwira. Dia bertanya, ‘Apakah kamu siap?’,” terang Suhario

Sikap tenang Kolonel Sungkono itu baru mulai berubah saat pasukan Inggris menyerang. Inggris membombardir Surabaya melalui jalur darat, laut, dan udara. Serangan bertubi-tubi itu lantas membuat Surabaya tumbang.

Kolonel Sungkono lalu tercatat telah mempertahankan Surabaya selama 21 hari.  Tanggal 16 Juni 1950, Sungkono alih tugas ke Jakarta dan pangkatnya naik menjadi Brigadir Jenderal. Dalam tahun 1958 ia diangkat menjadi Inspektur Jenderal Pengawasan Umum Angkatan Darat. Pangkatnya naik lagi menjadi Mayor Jenderal. Jabatan terakhir sampai ia memasuki masa pensiun tahun 1968 adalah penasehat Menteri/Pangad.

Ia pernah menjabat sebagai Hakim Tinggi Tentara Pengadilan Tentara Tinggi. Di luar kemiliteran antara lain ia pernah menjadi Pengurus Pusat Persatuan Pelaut Indonesia dan menjadi ketua II DPP Badan Musyawarah Besar Angkatan 45.

Mayor Jenderal Sungkono banyak mendapat penghargaan dan tanda jasa. Di antaranya bintang Maha Putra Adhi Pradana (diterimakan kepada isterinya). Bintang Dharma Bakti, Bintang Gerilya, Bintang Sewindu, Satyalencana Perang Kemerdekaan I – II, Satyalencana 16 tahun, Satyalencana GOM I, II, III, IV dan V. Pejuang perintis kemerdekaan itu meninggal tanggal 12 September 1977 di RS Gatot Subroto, Jakarta.

Perjuangannya terpatri sebagai nama Jalan Mayjen Sungkono dan seluruh kota di Indonesia. Dan jalan itupun menjadi pembuka bagi siapa pun yang ingin berkunjung  ke Taman Makam Pahlawan Sepuluh Nopember Surabaya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *