Ketahanan perekonomian Indonesia menjadi pertanyaan saat ekonomi global menunjukkan kondisi yang tak menggembirakan. Entah itu dari Yunani atas kegagalan pembayaran utangnya, krisis pasar saham di China, atau makin dekatnya realisasi rencana Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menaikan suku bunga acuan.
“Sekarang pertanyaannya kalau terjadi krisis, apa fundamental kita kuat? Saya pikir memang fundamental kita masih terjaga,” ungkap Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah dalam diskusi di Kedai Kopi Tjikini, Jakarta, Minggu (12/7/2015)
Dalam angka-angka asumsi makro, Firmanzah menambahkan pertumbuhan ekonomi masih tetap tumbuh meskipun lambat pada kuartal I-2015 sebesar 4,7%. Inflasi terkendali dengan mengarah ke target 4,5 plus minu 1 sampai akhir tahun. Rupiah yang melemah, tapi fluktuasinya tidak terlalu tajam.
Di samping itu defisit pada transaksi berjalan (current account) semakin baik dengan proyeksi 2,5% pada akhir tahun. Kemudian juga adalah porsi utang masih cukup rendah dengan kisaran 26% terhadap PDB.
“Porsi utang terhadap PDB itu masih terjaga. Termasuk juga ada stress test dari otoritas yang menyebutkan likuiditas bank cukup terjaga bila rupiah melemah sampai di level tertentu,” jelasnya.
Kondisi sekarang jauh berbeda dibandingkan dengan masa krisis moneter 1998. Karena banyak sekali perubahan yang dilakukan oleh pemerintah. Terutama dalam pengelolaan utang.
“Apa ekonomi kita akan ambruk? Saya rasa tidak. Kalau melihat kondisi sekarang, terus pertanyaannya apa Indonesia serapuh 98? Tentu jawabannya tidak,” tegasnya.
Pemerintah beserta regulator lain seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah memiliki mekanisme penanggulangan krisis. Terbukti ketika terjadi krisis pasar keuangan pada 2008 dan berlanjut pada persoalan utang di negara-negara Uni Eropa.
”Ini bukan pertama kalinya dialami Indonesia. Pengalaman kita lolos saat 2008 itu memberikan keyakinan masa-masa sulit di global itu akan teratasi,” tukasnya.