Maksoem Hardjoprajitno -Pendidik dan Pejuang Yang Sukses

Uncategorized157 views

maksoem

(Persembahan dari Tri Atmo, Jurnalis Senior tinggal di Purbalingga untuk Hari Guru Tahun 2015 dan artikel dimuat di Tabloid Elemen Edisi 03 | 15-31 November 2015).

 

Maksoem Hadjoprajitno bin Arsadiwirya lahir di Desa Jatisaba Kecamatan/ Kabupaten Purbalingga, hari Kamis Kliwon 5 Juni 1913. Anak ke – 2 dari Sembilan bersaudara ini menjalani pendidikan Volkschool (Sekolah Rakyat) di Jatisaba tahun 1926, angka II di Purbalingga tahun 1929 dan Normaal School di Purwokerto tahun 1933.

Ia mengawali kariernya sebagai guru SR (sekarang Sekolah Dasar) di Desa Mijen Kabupaten Demak (1933). Setahun kemudian kembali ke daerah asalnya lalu mengajar di SR Desa Kalikabong Pubalingga.

Di kalangan masyakat kedudukan guru sangat terhormat waktu itu. Apalagi Maksoem yang masih muda belia, sering memberi solusi tehadap masalah yang kerap dihadapi masyarakat lingkungannya. Beberapa kali ia alih tugas mengajar SR di daeah Purbalingga dan jaman penjajahan Belanda dari Jepang hingga kemerdekaan tahun 1946.

Ketika pemerintah pendudukan Jepang membentuk pasukan PETA (Pembela Tanah Air), banyak pemuda diminta mengikuti pendidikan militer. Untuk pimpinan diutamakan dari kalangan guru. Sepeti Soediman, Isdiman, Abimanyu dan lain lain yang umumnya guru. Maksoem yang sejak kecil becita-cita menjadi tentara juga turut mendaftakan diri.

Namun testingnya gagal terutama fisik yang kurang memenuhi syarat. Meski tidak kesampaian semangat juang Maksoem tetap menyala – nyala. Bejuang tidak harus memanggul senjata saja. Baginya mencetak kader bangsa lewat bidang pendidikan tidak kalah pentingnya. Selain tetap menjalani profesinya sebagai guru, ia tidak pernah behenti belajar. Pengagum Bung Karno ini banyak membaca berbagai ilmu yang bemanfaat dan disiplin dalam segala hal.

Tahun 1946 ia dipercaya menjadi kepala Jawatan yang menangani bidang logistic se karesidenan. Segera ia membentuk jawatan logistic tingkat kecamatan. Pada jaman perang kemerdekaan tanggung jawabnya semakin berat. Ia sering kali mengalami kesulitan membagi bagikan logistic terutama sandang pangan ke seluruh daerah kecamatan.

Pada saat tertentu keadaan memaksa untuk mengungsi ke daerah lain. Pujian dan fitnah itu menjadi biasa. Namun berbagai kesulitan akhirnya bisa diatasi. Ia masih ingat betul ketika di pengungsian.Baru lima menit ia pindah, karena tempat persembunyian tadi dijatuhi bom oleh tentara NICA.Seperti pada jaman perang kemerdekaan tahun 1947, Maksoem sekeluarga mengungsi di desa Gunung Wuled kecamatan Rembang Purbalingga.

Di pengungsian itu, ia dipercaya mesyarakat menjabat kepala PPBM (Pusat Perbekalan Bahan Makanan) yang melayani para gerilyawan, pengungsi dan masyarakat umum. Tetapi suatu hari desa tersebut dihujani peluru kanon oleh Belanda yang dilepas dari desa Pengadegan. Maksoem sekeluarga bercerai berai di desa Gunung Wuled yang sudah porak poranda.

Tapi sorenya berkumpul kembali, Maksoem sekeluarga pindah mengungsi ke daerah Banjarnegara. Yang lebih menderita lagi adalah para gerilyawan, pengungsi dan masyarakat yang biasa mendapat jatah pangan dari PPBM. Karena Maksoem pindah mengungsi, maka PPBM tidak memiliki kepala dan terpaksa bubar, sampai Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia

Memasuki tahun 1951 jawatan logistik yang didirikan pemerintah dilikuidasi. Iapun kembali ke habitatnya bidang pendidikan. Berturut turut Maksoem menduduki jabatan sebagai penilik Jawatan Pendidikan Masyarakat di kabupaten Demak (1955) dan di kabupaten Pubalingga sampai pension (1967). Masih ada karya lainnya di bidang pendidikan. Seperti mengurus POMG, mendirikan SMA Negeri, dan mendirikan yayasan sekolah STM di Pubalingga.

Konferensi jawatan pendidikan masyarakat Jawa Tengah diadakan di Magelang. Maksoem ditunjuk sebagai anggota tim penyusun segi pokok PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) dari Purbalingga. Dari kabupaten Banyumas diwakili oleh M.Kamsi Dibyosukarto.

Sedangkan kepala Jawatan Pendidikan Propinsi Jawa Tengah saat itu Imam Androngi (pejuang palagan Ambarawa). Ketika Munadi menjabat sebagai gubenur Jawa Tengah, 7 ( tujuh) segi pokok PKK dikembangkan menjadi 10 (sepuluh) segi pokok PKK.

Keberhasilan Jawa Tengah mengembangkan PKK kemudian diikuti daerah lain sebagai program nasional. Aspirasi politiknya ia salurkan melalui partai politik yang didirikan oleh Bung Karno yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI).

Anggota laskar pemuda PNI yang hoby seni tari dan tembang Jawa ini penah menduduki jabatan sebagai ketua PNI cabang Demak dan ketua PNI cabang Purbalingga. Ia juga sebagai ketua PETANI yaitu oganisasi petani onderbouw PNI. Perjuangannya menyelesaikan berbagai masalah melalui partai politik tidak sia – sia. Di antaranya ia berhasil membebaskan tanah di kelurahan Bojong Purbalingga. Awalnya tanah tersebut dikontrak pabrik gula Bojong. Kemudian dikuasai pabrik gula Kalibagor. Kini tanah itu yang sudah diserahkan kepada Pemda setempat, dibangun perumahan untuk kepentingan rakyat banyak.

Maksoem Hardjopajitno yang menikah dengan Hj.Siiti Djamilah pada tahun 1935 dikaruniani sebelas putra putri. Ia meninggal pada tanggal 15 Juli 1979. Selain berhasil mendidik bangsanya, hampir semua putra putri keluarga guru ini berhasil menjadi sarjana.

Mereka adalah Rudaningsisih, Wahyuningsih, Purbadi, Rofiah Mintarsih, Lestari Abadiyati, Besar Priyadi, Teguh Budiyono, Heru Kartono, Agus Widodo, Martono Imam Waluyo dan Hitima Wardani Yogi. Sebagai seorang nasionalis kepada generasi muda ia berpesan, agar senantiasa meningkatkan jiwa nasionalisme, mengenali dan mencintai tanah air, untuk tetap mempertahankan kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.