Berdasarkan prakiraan cuaca yang dikeluarkan Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung, Cilacap. Gelombang tinggi masih berpeluang terjadi di perairan selatan Jawa Barat, perairan selatan Jawa Tengah, dan perairan selatan Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Samudra Hindia selatan Jawa Barat hingga Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kepala Kelompok Teknisi Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung, Teguh Wardoyo menuturkan, tinggi gelombang tersebut dipengaruhi oleh angin bertiup di atas wilayah perairan maupun samudra dengan kecepatan berkisar 5-20 knot yang cenderung searah dari timur hingga selatan
“Ini bakal terjadi pada 16-18 Oktober 2019, tinggi gelombang di perairan selatan Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Pangandaran, Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Yogyakarta maupun Samudra Hindia selatan Sukabumi hingga Yogyakarta diprakirakan berkisar 2,5-4 meter,” katanya
Untuk itu lanjutnya, pihaknya mengeluarkan peringatan dini gelombang tinggi di wilayah perairan selatan Sukabumi-Yogyakarta maupun Samudra Hindia selatan Sukabumi-Yogyakarta yang berlaku hingga 18 Oktober 2019.
“Kami akan segera informasikan kepada masyarakat dan pengguna jasa kelautan jika ada perkembangan lebih lanjut,” katanya.
Ketua Kelompok Nelayan Pandanarang, Tarmuji menuturkan, pendapatan nelayan yang biasa melaut di perairan Cilacap, Jawa Tengah merosot akibat kondisi cuaca yang tidak menentu.
“Kalau menurut hitungan Jawa, harusnya saat sekarang nelayan Cilacap akan segera memasuki masa panen raya. Namun, kenyataannya hasil tangkapannya tidak menentu, kadang bisa mendapatkan ikan, hari-hari berikutnya tidak ada ikan,” katanya
Ia mengatakan berdasarkan informasi, nelayan di daerah lainnya baik di pesisir selatan Jateng maupun pantai utara Jateng juga mengalami kondisi serupa. Menurut dia, kondisi tersebut dipengaruhi oleh cuaca yang tidak menentu karena masih sering terjadi gelombang tinggi.
“Kemarin sempat muncul ikan bawal putih namun cuma sebentar, layur dan udang juga ada namun cuma sedikit. Akibatnya, pendapatan nelayan Cilacap khususnya yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Pandanarang merosot,” katanya.
Tarmuji mengatakan dari seratusan kapal nelayan Pandanarang yang berangkat melaut, hanya satu-dua kapal yang bisa memperoleh pendapatan kotor sebesar Rp 1 juta, sedangkan lainnya rata-rata hanya Rp 150 ribu.
“Pendapatan kotor sebesar Rp 1 juta itu harus dikurangi biaya operasional berupa bahan bakar minyak dan perbekalan sebesar Rp 300 ribu. Sisanya dibagi dua, untuk pemilik kapal dan anak buah kapal. Biasanya kalau sisa pendapatan setelah dikurangi biaya operasional hanya sebesar Rp 700 ribu, pemilik kapal hanya mengambil Rp 300 ribu, sisanya untuk ABK. Kalau kapal itu terdiri atas dua ABK, berarti dibagi dua, masing-masing Rp 200 ribu,” katanya.