Momentum hajat pesta demokrasi 5 tahunan atau pemilihan umum (pemilu) secara serentak mulai dari lembaga eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dan legislatif (DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota) telah selesai dilaksanakan.
Berdasarkan hasil final penghitungan suara, khususnya dalam pemilihan lembaga eksekutif atau pilihan presiden dan wakil presiden, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah mengumumkan bahwa suara terbanyak didapatkan oleh pasangan nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dengan jumlah 55,50%, sedangkan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subiyanto dan Sandiaga Uno memperoleh suara sebanyak 44,50%.
Namun, seusai pengumuman hasil oleh KPU, pasangan calon presiden nomor urut 02 menyatakan keberatan atas hasil pemungutan suara tersebut dan kemudian mengajukan gugatannya kepada institusi yang berwenang yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan hasil akhir keputusan sidang sengketa pemilihan presiden pada tanggal 27 Juni 2019, MK menyatakan menolak seluruh gugatan kuasa hukum dari pasangan calon nomor urut 02, sehingga secara otomatis hasil pemungutan suara yang dilaksanakan oleh KPU secara konstitusional dan sah dimenangkan oleh pasangan nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
Drama panjang pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun ini mendapat perhatian yang sangat besar dari berbagai lapisan masyarakat. Kondisi ini terlihat dari berbagai bentuk ekspresi seluruh masyarakat dalam menyikapi hasil perolehan suara yang diumumkan oleh KPU, kemudian dilanjutkan melalui perdebatan-perdebatan panas di darat maupun di udara (media sosial).
Bahkan berdampak terjadinya pembelahan dalam tubuh masyarakat dan melahirkan pelabelan terhadap kedua kelompok pendukung dengan istilah cebong dan kampret. Namun setelah sidang MK berakhir, seluruh elemen masyarakat kini telah kembali bersama-sama bahu membahu merajut kembali semangat kebersamaan dalam membangun bangsa dan negara dengan mengesampingkan egoisme kelompok atau golongan.
Bahkan, gambaran pertemuan Jokowi dan Prabowo beberapa waktu lalu, merupakan langkah kongkrit untuk menyatukan kembali serpihan puzzle-puzzle persaudaraan yang sempat tercerai berai. Situasi ini diharapkan dapat menjernihkan kembali polusi polarisasi dalam tubuh masyarakat akibat dramatisasi proses pemilu.
Oleh karena itu, kini harapan besar berada di pundak presiden terpilih untuk mewujudkan kinerjanya dengan membentuk formasi kabinet yang dapat merepresentasikan visi dan misinya dengan memproduksi kebijakan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa dan negara.
Dalam membentuk formasi kabinet, khususnya menentukan posisi dalam tubuh kementerian, tentu diperlukan sumber daya manusia yang terbaik, yang memiliki kemampuan dan pengalaman serta rekam jejak yang dapat diandalkan.
Berbagai percobaan telah dilakukan dalam politik Indonesia semenjak era kemerdekaan hingga reformasi untuk mendapatkan suatu kombinasi ideal atau modus vivendi dari komponen yang diharapkan dapat mendorong dan mengembangkan kehidupan demokrasi yang sehat menuju good government.
Kompetensi dan Integritas
Akhir-akhir ini, presiden terpilih Joko Widodo dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, karena seluruh parpol dan ormas pendukung yang ikut memperjuangkan dalam kontestasi pilpres menyodorkan nama-nama menteri untuk duduk dalam susunan kabinet atau dengan istilah meminta jatah menteri.
Kondisi tersebut merupakan hal yang lumrah, sebab muara dari aktivitas politik adalah posisi atau kekuasaan. Namun, tentu saja sebagai nahkoda, presiden memiliki hak prerogatif untuk mempertimbangkan seluruh aspek dalam menentukan siapa sosok yang tepat membantu kinerjanya dalam pemerintahan. Program, kebijakan, regulasi dan bahkan etos dalam pemerintahan diarahkan oleh suatu preferensi.
Maka sebagai bahan pertimbangan dalam membentuk formasi kabinet, nukleus dari tulisan ini berusaha menginterpretasikan pandangan Kleden terkait dengan kondisi politik saat ini. Kleden (2004) memetakan tiga preferensi dalam membangun demokrasi yang sehat (pemerintahan yang ideal), namun diringkas menjadi dua preferensi nilai sebagai pertimbangan dalam menentukan posisi menteri dalam kabinet, antara lain; komponen kompetensi dan integritas.
Kedua komponen tersebut (kompetensi dan integritas) memberikan output yang berbeda dengan tanggung jawab yang berbeda pula. Kompetensi memberikan efektivitas kepada posisi politik seseorang, dengan tanggung jawab yang harus diberikan kepada pekerjaan yang dilakukannya dan peran yang harus dimainkannya.
Hal ini menggambarkan bahwa seorang menteri harus memiliki kompetensi yang baik sesuai dengan posisinya. Bahkan dalam riwayat sejarah kabinet di Indonesia, seorang menteri yang dipilih betul-betul juga mempertimbangkan komponen kompetensi. Pada era orde lama untuk posisi menteri yang memiliki kompetensi atau untuk menggambarkan para ahli (teknokrat) yang menduduki jabatan menteri dinamakan zaken kabinet dan di era orde baru diistilahkan mafia Berkeley.
Pertimbangan presiden tentu harus sinergis dengan parpol pengusung yang menyodorkan calonnya. Artinya presiden dan parpol juga bersama-sama harus memperhatikan kompetensi dalam menentukan pilihan siapa saja yang pantas duduk sebagai menteri dalam formasi kabinet. Melalui kompetensi yang dimiliki oleh calon menteri yang menyangkut pengetahuan, keterampilan dan keahlian diharapkan dapat mencapai setiap tujuan pembangunan yang menjadi kebijakan pemerintah secara kolektif.
Namun, Andres Ufen (Hardiman, 2013) dalam tulisannya menunjukkan keraguan atas komitmen partai politik di Indonesia, karena dalam penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku partai-partainya cenderung berkembang menjadi apa yang disebut “partai-partai kartel”, yang lebih memprioritaskan tujuan bisnis secara ekonomi untuk kepentingan kelompoknya daripada kepentingan bangsa dan negara.
Mungkin inilah yang menjadi akar permasalahan dari praktik politik di negeri ini yang seakan-akan para pelakunya lebih mengutamakan transaksi politik berdasarkan kekuatan finansial dan akhirnya praktek jual beli kekuasaan atas dasar kekayaan tidak terelakan.
Maka kemudian, Kleden mengatakan bahwa kompetensi yang dimiliki juga harus didukung oleh komponen berikutnya yang tidak kalah penting, karena kompetensi atau para ahli juga harus memperlihatkan komitmennya dalam bekerja untuk berpegang teguh pada aturan main dan moralitas atau dinamakan dengan istilah integritas politik.
Tanpa moralitas politik yang baik hanya akan mengantarkan seseorang atau kelompok untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan mengubah tawar menawar politik yang merupakan tukar menukar argumentasi menjadi tawar menawar dagang dengan memakai uang sebagai sarananya. Mungkin cukup tepat ketika tokoh sejarawan Kuntowijoyo mengistilahkan bahwa manusia memiliki kemiripan naluri dengan hewan, salah satunya memiliki potensi naluri sebagai predator.
Perbedaannya jika hewan diistilahkan sebagai predator natural, yang hanya memburu mangsanya ketika lapar saja dan berhenti setelah kenyang, sedangkan manusia adalah predator struktural (kekuasaan) yang selalu lapar akan hasrat untuk berkuasa dan dengan meghalalkan segala cara.
Hal tersebut sangat jelas terlihat dari beberapa fenomena pelanggaran hukum salah satunya kasus korupsi yang menyandera pejabat publik. Bahkan akhir-akhir ini, berbagai kasus korupsi telah menjadi bagian keseharian pemberitaan di media massa. Semestinya situasi ini dapat dijadikan pelajaran bagi seluruh pejabat publik, agar penyakit erosi integritas tidak menggerogoti seluruh sel dalam pemerintahan, sehingga tidak lantas mematikan seluruh kepercayaan yang publik berikan.
Bercermin dari beberapa perilaku miskinnya integritas yang ditunjukkan pejabat publik pada periode sebelumnya, maka sejatinya Presiden harus memiliki sikap yang lebih selektif dalam menentukan posisi calon yang tepat di dalam kabinet yang akan dibentuk, serta kemudian jangan sampai tersandera oleh kepentingan parpol pendukung yang menyodorkan calon menteri yang tidak representatif.
Maka, berdasarkan perspektif ajaran Islam, untuk menentukan posisi setiap orang yang akan diberi amanah berupa jabatan atau kekuasaan, Nabi Muhammad SAW menegaskan melalui sabdanya; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (HR. Bukhari). Dari penjelasan hadits tersebut, tentu saja memberikan rujukan bagi seorang pemimpin akan pentingnya memberikan amanah atau jabatan didasarkan pada aspek-aspek kualifikasi yang berorientasi pada prinsip the right man on the right place.
Oleh karena itu, semoga preferensi nilai ini dapat memberikan investasi pertimbangan bagi presiden terpilih dalam membentuk formasi kabinet dengan racikan komposisi calon menteri di posisi yang tepat, sehingga dapat melahirkan benih-benih pemerintahan untuk menuju good government yang kemudian akhirnya juga dapat menciptakan good governance.